Menjadi Anak Perempuan: Ibu Rumah Tangga vs Wanita Karir

11.53

"Nggi, kamu nggak sayang apa sama apa yang sudah kamu raih kalau andaikata kamu setelah menikah lalu jadi Ibu rumah tangga? Kamu nggak mau gitu kerja di luar negeri dengan kemampuan yang kamu punya?" 

Beberapa hari lalu aku bertemu dengan teman-teman kuliah yang juga sahabat-sahabatku. Orang baik yang kebetulan bersama-sama berproses. Satu di antara mereka ialah Mega, seorang yang akan segera menyandang gelar Nyonya bukan lagi Nona. Ha ha. Salah seorang rekan laskar 'udah putusin aja'  yang kemudian memutuskan untuk berpisah dengan Mas Zeindha saat itu. Tapi ya... sungguh jodoh itu tak akan lari kemana. Karena saat itu berpisah juga dalam rangka memperbaiki diri sehingga meneguhkan hati untuk tidak berpacaran, ya ujungnya akan bertemu dengan jodoh yang terbaik juga. InsyaAllah besok Jumat Mega akan resmi menyandang panggilan, "Bu Zeindha" ha ha.



Terlepas dari kisah Mega dan/atau rekan-rekan istimewa yang lain, aku jadi teringat pertanyaan salah seorang sahabat selepas pertemuan kemarin itu. Pertanyaan di atas itu dilontarkan oleh salah seorang sahabat yang sifatnya hampir sama denganku, ambisinya juga hampir sama denganku, dan juga dalam beberapa hal kami punya pencapaian yang tinggi sebagai seorang perempuan.

Waktu itu aku hanya menjawab, "Entahlah. Aku kan anaknya manut kalau sama orang bisa ngemong aku. Tapi ya, memang wajib kan bagi seorang istri untuk patuh atas perintah suaminya. Kan surga istri ada pada baktinya ke suami. Ya, nanti kalau suami aku minta aku berhenti bekerja dan minta untuk aku di rumah, ya aku manut. Ha ha."

Setelah dipikir-pikir, aku belum menjawab seratus persen atas pertanyaan itu ya kan? Ha ha. Kesannya 'yawis' gitu tapi belum menjawab yang dari hati gitu. Ha ha. Jadi setelah dalam perjalanan di kereta aku merenung, maka aku bisa menuliskan jawaban yang sekiranya lebih baik sekarang.

Hampir serupa dengan tulisan sebelumnya yang mempermasalahkan sekolah tinggi atau S2 bagi seorang anak perempuan, menjadi Ibu rumah tangga atau wanita karir yang sukses selalu menjadi perdebatan bagi orang kebanyakan.

Menurutku, seorang wanita karir yang sukses juga bisa saja menjadi Ibu rumah tangga yang baik. Di lingkungan keluargaku, itu yang terjadi. Mama-ku misalnya. Mama adalah wanita karir yang sukses versiku. Seorang sekretaris direktur perusahaan nasional (jadi jangan heran ya kalau Mama aku lebih cantik dari aku, ha ha. perawatan cyin). Meskipun demikian, sejak kecil aku dan adikku tumbuh dengan figure Ibu rumah tangga yang baik.

Setiap pagi, Mama bangun pukul 3 pagi (sampai sekarang) untuk sholat malam untuk mendoakan anak dan suaminya (ini bukan lebay tapi serius begitu), menyeterika pakaian Papa, seragam sekolah anak-anak, dan juga seragam kantor Mama. Setelah sholat subuh, membangunkan anak-anak dan Papa. Setelah semua orang bangun, Mama menyiapkan sarapan dan juga bekal (kadang-kadang). Oiya sarapan di keluargaku bukan nasi, tapi sari kacang hijau atau teh susu atau kadang teh kacang hijau. Setelah sarapan, Papa, aku, dan Hasian mulai antre mandi sementara Mama mulai menaikkan air (soalnya tempat cuci ada di lantai 2). Debit air paling tinggi di pagi hari ada di pukul 5-6 pagi di rumahku. Setelah itu Mama mulai merendam pakaian kotor. Jam 6.15 atau paling siang pukul 6.30, semua orang berangkat meninggalkan rumah sementara Mama masih menyapu lantai dan baru pukul 07.00 Mama mandi (sampai sekarang jadwal mandi ini ga berubah jam). Setelah itu, Mama baru sarapan dan mempersiapkan diri untuk ke kantor. Jam setengah 8 Mama pergi bekerja karena jam masuk kantor pukul 08.00.

Jam 12 siang, saat jam istirahat, Mama pulang dan membelikan makan siang untuk Aku dan Hasian. Makanan disiapkan di piring tak lupa Mama memasak nasi. Jam 1 siang, sebelum mama kembali ke kantor dan kembali bekerja, Mama mengangkat jemuran di lantai 2.

Jam 4 sore Mama pulang. Sebelum mandi, sambil duduk mengambil nafas sebentar, Mama pasti bertanya bagaimana sekolah hari ini, ada apa aja di sekolah, dan teman-teman bagaimana. Setelah membereskan diri, Mama mulai masak untuk makan malam. Anak-anak disuruh belajar mengaji sambil menunggu maghrib. Selepas sholat maghrib, papa biasanya baru saja sampai di rumah. Papa biasa pulang setengah 7 (tapi kadang juga jam 8 atau bahkan jam 9). Saat Papa mandi selepas bekerja, Mama menyiapkan teh panas untuk kami berempat. Setelah Papa beres bersih-bersih, kami berempat makan bersama. Selepas makan, Mama meminta aku dan Hasian menyiapkan buku pelajaran dan/atau PR. Mama mencuci piring sebentar, lalu datang ke ruang belajar kami. Mama menemani belajar. Serius deh Mama itu buat aku belajar dengan baca sungguh-sungguh. Soalnya setiap aku tanya pertanyaan yang aku ga tau, Mama pasti menjawab, "Coba baca dua kali lagi. Pasti ada di bacaan. Kalau nggak ada baru nanya." Ha ha. Jadi aku kebiasaan baca itu sampai 2 atau 3 kali sebelum bertanya yang alhasil mengurangi intensitas aku bertanya. Ha ha. Oiya, Mama kalau menemani pelajaran agama paling serem. Ha ha.

Jam 9 malam, sebelum tidur, Mama bertanya masih ada PR nggak, ada cerita nggak. Kalau sudah nggak ada, barulah kami bergegas tidur. Mama masih belum tidur dan masih mengobrol dengan Papa. Mama selalu bertanya pada Papa,"Gimana Pa kantor hari ini?" Jam berlalu sampai larut, Mama masih setia mendengarkan cerita Papa. Jam 11 malam Mama baru tidur (mungkin. ha ha. kamar aku dulu di sebelah kamar papa mama dan kadang aku nggak bisa tidur jam 9 jadi kedengeran kalau mama papa masih mengobrol).

Begitulah siklus harian Mama. Agak sedikit berbeda di weekend, tapi kurang lebihnya demikian. Meski Mama aku punya asisten rumah tangga, Mama selalu seperti itu. Baju Papa dicuci sendiri, baju anak-anak yang bagus, dicuci sendiri. Ha ha.

Nah, itu sebenarnya yang kadang membuat aku berpikir bahwa menjadi wanita karir pun sebenarnya bisa tetap menjadi Ibu rumah tangga yang baik. Tapi apa aku akan ngotot untuk mengejar karir dan kemudian tak ingin tinggal di rumah saja seharian setelah menikah nanti? apa aku nggak sayang dengan apa yang sudah aku upayakan sampai sejauh ini? bagaimana dengan ambisiku?

Begini, aku jujur sudah sejak lama aku ingin bekerja di UN yang kantornya ada di luar Indonesia. Dan jelas, dari waktu ke waktu aku makin dekat dengan kesempatan itu. Tapi dalam hidup, aku selalu mensyukuri apa yang aku punya dan aku hadapi. Aku berusaha untuk tetap istiqomah pada apa yang aku lebih yakini terbaik bagiku dan orang-orang yang aku sayangi. Mama sebenarnya meminta aku untuk menjadi PNS selepas menikah agar memiliki jam kerja yang nyaman yang bisa dikompromikan dengan urusan rumah tangga. Setelah dipikir-pikir mungkin kalau setelah menikah, itu tidak lagi menjadi masalah bagi egoku. Oiya, sebenarnya apa yang menjadi pupuk bagi ambisiku itu adalah set orang-orang. Aku tuh jadi contoh bagi banyak orang dan kabar aku hari ini adalah recent updates yang perlu diketahui bagi orang kebanyakan baik dalam lingkup keluarga maupun guru-guru atau bahkan lingkungan tempat tinggalku.

Masalah ngotot untuk bekerja setelah menikah? Tentu saja tidak. Seperti yang sudah aku sampaikan sebelumnya, aku akan patuh apa yang menjadi perintah suami aku nantinya. Selagi yang menjadi kebutuhan aku dan anak-anak dapat dipenuhi dari penghasilan suami, oke aku berhenti dari pekerjaan. Lain cerita andai suami ridho aku bekerja, ya aku akan bekerja yang sekiranya tidak memberatkan diriku sendiri untuk memenuhi wajibku berbakti pada suami dan mengurus rumah tangga. Ha ha.

Nggak sayang sama yang dipunya dan yang sudah dicapai? Tidaklah. Ha ha. Apa yang harus disayangkan coba. Apa yang aku punya kan bisa dibagikan kepada anak-anakku nantinya. Jadi mereka akan tumbuh dengan modal yang baik kan. Kalau apa yang sudah aku capai akan bisa jadi motivasi bagi anak-anakku nanti. Bisa jadi kebanggaan bagi anak dan suami aku juga kan ya. Ha ha. Dan balik lagi ke tulisan sebelumnya, justru ini akan membantu aku dalam mendidik anak-anak aku.

Ambisi? Hem... Aku justru sudah tau apa yang akan aku lakukan saat menjadi Ibu yang tinggal di rumah saja. Ha ha. Aku suka melakukan ketrampilan tangan dan bahkan mudah untuk berkomunikasi. Bisa saja aku malah bisa memberdayakan Ibu-ibu komplek atau lingkungan rumah yang malah lebih manfaat. Kalau tidak, saat di rumah aku bisa saja membuat prakarya yang berguna bagi orang lain. Ha ha. Banyak kok yang bisa aku kerjakan. Toh aku percaya ambisi itu muncul sesuai dengan latar belakang yang sedang dijalani. Bukan meredam atau malah membunuhnya, hanya saja mengarahkan ke arah yang berbeda. Mendidik anak yang berkarakter juga bisa jadi ambisi baru. Ha ha.

Begitulah pendapat aku. Tak mengapa memilih menjadi wanita karir selagi diberi izin oleh suami dan mampu bertanggung jawab atas wajib seorang istri. Tapi andai menjadi Ibu yang tinggal di rumah seharian, itu pun baik. Banyak hal yang bisa dikerjakan selagi berbahagia dan bersyukur dengan kehidupan yang dipunyai. Ha ha.

Selamat berdiskusi.

- Anggi Siregar -

You Might Also Like

0 komentar

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images