Pendidikan, Sumpah Pemuda dan Guru

02.14

- 28 Oktober 2012 -

     Dari salah satu blog sahabat saya, sebut saja Asmi, dia selalu memberikan pengertian dan semangat-semangat gaib kepada saya untuk menulis dan berbagi. Memberikan kesegaran dalam cara saya berpikir mengenai pengertian guru yang di luar dari pengertian yang mengacu pada sebuah profesi belaka. 


     Singkat saja, Asmi memberikan pemahaman kepada saya bahwa siapa saja bisa menjadi guru. Orang yang berbagi ilmu kepada orang lain di sekitarnya. Secara tidak langsung, Asmi mentransfer pemikiran itu kepada saya secara berulang-ulang.

     Hem, beranjak ke pembahasan lain. Namun sebelum melanjutkan ke topik bahasan tulisan kali ini, saya ingin memberikan semangat kecil dalam rangka menyambut Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2012. Esensi dari sebuah perubahan, adalah pergerakan. Aksi. Aksi sendiri bisa ditafsirkan dalam beragam rupa definisi menurut taste orang yang menyampaikan. Namun, bagi saya aksi adalah lebih kepada ekspresi dari sebuah pemahaman dan/atau keyakinan seseorang terhadap hal yang ia yakini kebenarannya akan memberikan efek lebih menuju sebuah perubahan.

     Sumpah Pemuda adalah salah satu manifestasi dari pergerakan itu. Ia adalah semangat juang yang diikrarkan dalam semangat persatuan. Bangsa Indonesia yang satu. Sebab sejatinya, kita memang diciptakan berbeda, sebab kita secara pribadi bukanlah sebuah barang yang memiliki barang substitusi sempurna. Tiap orang memiliki keunikan sendiri, pemahaman dan/atau tingkat pemahaman sendiri. Namun, sebab ketidaksamaan inilah yang justru menjadikan kita satu. Kita satu sama lain layaknya barang komplementer. Itu lah manusia dengan mono-dualisme nya. Makhluk individualis-Makhluk sosial.

     Semangat inilah yang kemudian mulai luntur. Pendidikan. Yah, kuncinya adalah pendidikan. Pada dasarnya, dasar yang paling berpengaruh dalam hal ini (yang selalu ada dalam pikiran) adalah kemampuan baca tulis tiap orang. Merujuk kepada angka buta huruf. Angka buta huruf sendiri menjadi salah satu indikator pembangunan bangsa lo.

     Semakin banyak orang yang tidak mampu membaca, buku-buku pun satu per satu akan sirna, saat buku-buku mulai sirna, tak ada lagi keyakinan, bila keyakinan itu tidak ada, tak ada semangat, tidak ada pengetahuan. Yah, Zaman Kebodohan. Terombang-ambing. Perpecahan, peperangan didasari pada kebodohan dan prasangka saja. Adu domba. Chaos, kacau. 

     Jadi apa yang harus kita lakukan adalah sadar. Kita harus menyadari pentingnya pendidikan. Jangan melulu meributkan reformasi energi, reformasi hukum, tapi cobalah sekali-kali berpikir hal yang sedikit esensial, reformasi pendidikan. Memulai pembelajaran dan mulai ikhlas menjadi guru bagi siapa saja dan memberikan kecerdasan bagi siapa saja. Saat semua orang tidak terjebak dalam kebodohan, tak ada lagi orang pintar yang mencoba membodohi sesamanya.

     Jadi, saat semua orang bisa menjadi guru (dalam arti luas tentunya), semua orang akan memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi cerdas. Dan keadaan yang demikian tadi akan membawa kobaran semangat pemuda yang sama seperti semangat pemuda Indonesia di masa silam yang berjuang mati-matian melawan penjajah. Ingat kawan, mungkin saat ini musuh kita tidak fisik menantang kita, tapi bisa jadi kebodohan itu sendiri.

    Bila semua orang memiliki pemahaman di tingkat yang cukup baik dan semangat yang baik pula, maka bukankah itu sama saja mewujudkan kemerdekaan dalam era yang lain kan?

[dokumentasi pribadi]
Melihat masa depan dari semangat dan wajah yang baru. :-)

- Anggi Siregar -


You Might Also Like

0 komentar

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images