Aku Mengejar Anak - Anak Tangga dan Aku (Masih) Terus Belajar

00.16

- 10 Maret 2013 -

Hari itu adalah Hari Sabtu seperti biasa yang aku punya. Pagi-pagi betul berkat papa aku terbangun dari tidurku yang cukup lelap. Aku kemudian segera bersiap menaiki satu anak tanggaku hari itu. Tapi aku mungkin belum seprofesional orang-orang yang begitu menginspirasi itu. Buktinya, aku begitu gugup hari itu. Jantungku berdegup kencang. Tapi, aku bak seorang pemenang piala oscar. Aku mampu tak menunjukkan semua itu dihadapan para rangers. Aku memang seharusnya tidak boleh. Ya, aku seorang yang memulai langkah ini tidak boleh ragu. Jika aku goyah sedikit saja, rangers hebat itu pun mungkin akan bergetar lebih dari aku, maka tangga ini akan jatuh bersama dengan keras bersama-sama. Aku sama sekali tak ingin itu. Aku benar-benar mantap sebelum aku keluar dari rumahku pagi itu.


Dengan doa dari kedua orangtuaku, aku bersiap menjumpai orang-orang hebat yang sudah aku impikan dalam hidupku sejak aku masih muda dulu. Aku mengendarai vario yang sudah segala rupa ini menuju rumah aceh (bangunan rumah di depan jurusanku). Aku berniat menjemput para rangers yang sudah bersiap dari Jogja untuk menuju Klaten (lagi). 

Alhamdulillah semua berjalan lancar dan begitu cepat, begitu adanya. Kami bersiap menemui orang-orang hebat lagi. Aku saat itu menjumpai tiga orang sangat hebat yang bersedia meluangkan hari sabtu indahnya, yang mungkin saja dapat dimanfaatkan untuk berhura-hura atau sekedar tidur seharian tanpa gangguan, untuk mengunjungi tempat yang cukup jauh untuk sekedar mendapat 'keluarga' baru dan belajar menginspirasi. Sampai saat itu, aku masih berpikir aku harus berbuat apa nanti. Bagaimana teknis pelaksanaan, sementara semua belum seratus persen dipersiapkan. Koordinasi sebagian aku lakukan dan sebagian yasinta lakukan. Sebagian hanya aku yang tahu dan sebagian hanya yasinta yang tahu. Nekat. Itu modalku. Sebenarnya itu modalku dalam segala hal sih. ha ha. (Saat ini aku sedang membuka rahasia aksi ekstrem ku) :-D

Singkat cerita, rangers yang hadir hari itu ada sejumlah sembilan orang termasuk aku. :-D Aku lupa jumlah pasti teman-teman Deaf Art Community yang hadir. Tapi yang jelas, aku sangat berterimakasih dengan kehadiran DAC yang menciptakan iklim hangat dalam kelas Sang Pemimpi ini. :-D

Sejak interaksi dimulai, jam belajarku pun dimulai. Aku sudah mulai 'nge-wow' sendiri dan mulai terinspirasi dari semua interaksi yang terjadi hari itu. Mereka begitu menakjubkan. Hari itu aku sungguh bersyukur telah diberikan kesempatan untuk menyaksikan keajaiban-keajaiban dan keluarbiasaan yang begitu megahnya. Semua begitu menakjubkan bagiku. Aku menyukainya. :-D

Belum kelas masuk sampai ke tengah materi, hampir aku menangis dibuatnya. Aku tengah menahan tangis saat itu. Kenapa? Seolah ada orang yang menepuk pundakku dan berkata,"Look! Tuh lihat, Nggi! Mereka semua hebat dan bisa. Noh, waktu Lo selama ini buat apa aja? Apa bakal selamanya mimpi Lo itu bisa tergapai? Apa bakal semua mimpi Lo itu cuma buat diri Lo sendiri? Pikir ulang!"

Rasa-rasanya, kalau cuma mengeluh capek ketika orang bilang, "Nih, tulisan artikelnya kurang sempurna, jadi nilainya cukup di B." Dan bisa jadi nangis darah gara-gara itu, rasanya kok mental gembus banget ya setelah ngelihat mereka gitu. Setelah 'mendengar' cerita mereka itu.

Ini itu konyol. Banget. Sadar atau apalah namanya itu, tapi yang jelas aku justru banyak belajar dari guru-guru baru ini. Mereka sekali mengeluh, tak banyak yang mengerti. Lama-lama mereka tak mengeluh dan lebih baik berbicara dengan diri mereka sendiri. Aku rasa, aku akan perlu banyak belajar. Aku melihat, sudut pandang kami memandang dunia begitu beragam. Aku begini, dia begitu, dan yang itu begono. Begitu beraneka rupa. 

Berjuang mengentaskan dari keadaan yang dibuat serba terbatas buat mereka. Aku sendiri mulai benar-benar percaya pada pemikiran konyolku bahwa mereka bukan mereka yang terbatas. Sayang, mereka hanya hidup di lingkungan yang cukup membatasi mereka. Aku pernah bilang satu kutipan dari papa yang begitu aku senangi yang kurang lebihnya berbunyi demikian, "Keterbatasan bukanlah suatu penghalang. Ia adalah suatu keadaan yang kita ciptakan sendiri dari pikiran-pikiran konyol kita." Nah kalau boleh ditambahkan, bagi mereka, keterbatasan adalah suatu keadaan yang dipaksakan secara bodoh untuk mereka sejak mereka lahir sebab paradigma terbatas dari orang-orang di sekitar mereka. Ketika aku bilang, tidakkah kalian pernah berpikir ada satu dua orang tuna rungu seorang doktor? Mereka menggeleng. Oke mimpi belum sejauh itu. Ketika aku bertanya, mengapa. Mereka bilang itu tidak biasa bagi mereka. Kebanyakan dari mereka hanya sekolah biasa-biasa tanpa banyak harap untuk pendidikan yang lebih tinggi atau pekerjaan hebat lain. Mereka berpikir dari sudut pandang orang 'normal' yang melihat mereka. Mereka tidak berpikir sebebas dan sebagaimana mereka seharusnya. Itulah yang aku maksudkan dengan istilah membatasi mereka.

Aku punya sebuah puisi atau paling tidak dapat disebut sebagai kumpulan larik kalimat indah:

Tempat ini begitu ramai,
Ramai sekali,
Sebagian dari mereka aku lihat tertawa
Sebagian lainnya tampak saling berhadapan,
oh mungkin sedang bercakap cakap
Tapi mengapa aku tak tahu apa yang mereka perbincangkan
Aku sungguh tak mendengar apapun
Kalau aku tak mendengar sepatah kata pun,
lalu mengapa mereka tertawa
Apa yang mereka tertawakan
Kalau aku tak mendengar sepatah kata pun,
lalu apa yang mereka lakukan dengan berhadap-hadapan
Mengapa seolah aku merasa mereka tengah bertegur sapa
Apa yang salah dari aku
Aku yakin tempat ini begitu ramai
Apa yang sesungguhnya salah dariku
Prang
Suara piring jatuh
Aku menoleh dan mendapati bahwa benar bahwa sebuah piring telah jatuh
Aku kembali menoleh dan tak seorang pun yang menyadarinya
Aku perhatikan dalam-dalam
Tangan mereka berbicara
Wajah mereka bercerita
Bahasa mereka tengah menggema
ah, aku tahu aku yang salah
Aku tidak mendengarkan suara-suara itu
Aku abai pada celoteh tangan itu
Aku abai pada cerita raut wajah-wajah itu
Suaranya lebih halus
Suaranya lebih lembut menyapa
Ketika aku gunakan hati untuk merasakannya,
Aku dengan jelas dapat membacanya
Mereka berbicara dengan hati mereka yang diterjemahkan oleh tangan mereka
oleh raut wajah mereka
Mereka luar biasa dan aku masih belum ada apa apanya
Aku yakin aku bisa dan mereka bisa
Samakan frekuensi saja dan bercakap biasa
Aku mulai mendengar suara itu
Saat aku gunakan hati ini,
Ramai benar tempat itu,
Sangat gaduh bahkan
Semua saling menimpali satu pernyataan dengan pernyataan lain
Mereka tengah berbagi cerita
Tempat itu menjadi semakin ramai
Ya, ramai dalam sebuah sunyi

- Anggi Siregar -

You Might Also Like

0 komentar

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images