Hujan

21.47




"Bu, kapan hujan akan reda?"

"Entahlah."

Jawaban yang sama. Jawaban yang selalu berulang dari bibir tipis ibu. Tak beda dengan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan lain yang sering aku lontarkan pada ibu.

Hujan, ya sesuatu yang belum dapat aku pahami dengan sempurna. Mungkin berbeda dengan ibu yang tahu betul apa itu hujan. Bahkan bagi ibu, hujan mampu menimbulkan rasa. Sementara aku, hanya terjebak pada rasa dingin yang mendekapku erat ketika hujan itu datang dalam ruangan tiga kali empat meter persegi ini. Entah mengapa demikian.

"Nak, ini ibu ingin memberimu hadiah."

"Apa ini?"

"Buka saja dan tebaklah."

Ini sebuah kotak besar. Sangat besar bahkan. Permukaan kotak itu dilapisi dengan kertas yang halus dan licin permukaannya. Aku tak yakin kalau kotak ini berisi benda biasa-biasa saja. Tak mungkin pula bila berisi sepasang sepatu sebagaimana yang biasa ibu berikan padaku. Kotak ini terlalu besar untuk sepasang sepatu.

"Oh tidak. Jangan lagi-lagi, Bu!"

"Mengapa?"

"Aku tidak akan pernah pantas mengenakannya. Bahkan aku tidak akan pernah bisa memenuhi keinginan Ibu itu."

"Ibu hanya ingin melihatmu bahagia. Cukup itu saja."

"Aku juga cukup, Bu. Hidup berdua saja dengan ibu sudah cukup bagiku. Aku sangat bahagia dengan ini."

"Umur ibu tidak panjang."

"Tapi aku sudah cukup sakit dengan beberapa perjodohan lalu. Aku ingin sendiri dulu, Bu. Tolong tinggalkan aku sendiri."

Aku dapat mendengar langkah kaki ibu menjauh dariku. Sesaat sebelum ibu melangkahkan kaki pergi, aku dapat mendengar isak tangis ibu meski yang aku dengar samar-samar seolah sengaja tangis itu disamarkan oleh ibu. Aku tahu ibu begitu sedih memikirkan aku. Tapi aku juga tak tahan lagi dengan banyak acara perjodohan yang akhirnya hanya menambah luka saja. Terakhir acara perjodohan aku dengan seorang pengusaha spbu berakhir dengan hinaan dan cacian yang ibu dan aku terima dari pihak keluarga laki-laki.

Sebuah gaun. Di bagian bawah gaun terbuat dari tille di luarnya. Permukaannya yang kasar dan berongga cukup mudah dikenali bahwa kain gaun ini dibalut tille di bagian bawahnya. Entah apa mungkin ini model gaun terbaru, hingga di bawah kain tille masih dapat aku temukan kain syfon sebelum akhirnya aku dapat menjumpai kain ero di bagian dalam. Gaun bertumpuk. Di bagian atas, gaun berlengan pendek ini berbahan satin. Halus sekali permukaannya. Tak ada ornamen yang aku jumpai lagi di bagian atas gaun ini. Gaun ini lebih sederhana dibanding dengan gaun-gaun sebelumnya.

***

"Awas!"

Brakk....

"Bagaimana ini? Lastri? Lastri? Lastri...."

Suara teriakan itu awalnya begitu memekakkan telinga namun seketika senyap. Bahkan efek hingar bingar dari gemerlapnya lampu-lampu di sekitarku seketika menjadi gelap. Untuk sesaat, aku masih dapat mencium bau anyir. Bau anyir ini berasal dari darah yang mengucur yang akhirnya tersamarkan oleh bau tanah. Bercak darah yang tertinggal, sudah tak dapat diamati lagi. Ia telah bercampur dengan air genangan selepas hujan. Hari berubah menjadi gelap seketika.

***

Hujan tak kunjung reda, aku masih duduk memegangi gaun pemberian ibu. Hujan masih menghantarkan suasana. Hujan di penghujung tahun tak akan pernah sama dengan biasanya. Ia menggiring sepenggal memori tak terlupakan bagiku dan ibu. Selalu berulang begitu. Meski lagi-lagi aku masih sering kali gagal dalam memahaminya.

Hari terakhir tahun ini. Aku tak tahu lagi harus berbuat apa. Aku hanya bisa terjebak di sini bersama dengan kursi setia ini. Padahal, kursi yang aku duduki mungkin sudah tua usianya. Ia sedikit berubah hari ini. Serat kayunya tak sekasar dahulu. Dalam beberapa lekuk ukiran di kaki-kakinya aku dapat menemukan butiran debu. Betapa kasihannya dia yang harus terus-menerus menopang beratnya tubuhku.

Sama seperti ibu. Aku kasihan pada ibu. Sudah renta, tapi masih menanggung beratnya hidup bersamaku. Beberapa hari lalu di tengah rasa rindu luar biasa pada sosok bapak, ibu menyempatkan waktu tidur bersamaku. Ibu sudah jauh bertambah tua. Aku dapat menemukan kerutan di wajahnya. Dahulu, wajahnya begitu halus. Malam itu, aku dapat merasakan adanya beberapa bintik dan kerut di wajah ibu. Kantung mata ibu juga sepertinya membesar. Mungkin pada malam-malam lalu, ibu selalu menangis dalam heningnya malam tanpa pernah membiarkan aku tahu apa kesedihan yang ia rasakan.

Ah, apa mungkin aku terlalu keras. Aku sudah menyakiti hati ibu lagi. Aku membuatnya menangis lagi. Bagaimana aku ini. Yah, sebatas gadis yang tak tahu diri.

***

Hari ini adalah hari terakhir. Sesaat lagi akan ada perayaan pergantian tahun di alun-alun Klaten. Bapak sudah menjanjikan akan mengajak kami bermain di sana. Merayakan pergantian tahun bersama bapak dan ibu adalah hal langka bagiku. Bapak bekerja di pelayaran yang jarang sekali pulang. Di kota kecil kami ini, perayaan tahun baru paling ramai berpusat di alun-alun kota.

Semua orang berkumpul, bermain, makan bersama, duduk-duduk atau cerita lalala, asal berkumpul bersama beramai-ramai dengan warga kota lainnya. Hingga dilakukan sesi hitung mundur. Semua berdiri dan turut dalam kemeriahan hitung mundur. Dan kemudian kembang api, petasan, dan terompet meramaikan malam. Semua keceriaan pecah di sana. Tahun ini aku merasa sangat beruntung akan melewati malam tahun baru lengkap bersama dengan bapak dan ibu. Sungguh bahagia.

***

Rintik hujan yang jatuh sudah mulai sayup terdengar. Mungkin hujan sudah mulai reda. Meski belum sepenuhnya usai aku rasa. Gaun pemberian ibu masih saja ada di pangkuanku. Aku masih merenungi tentang apa yang sudah aku lakukan kepada ibu. Lebih dari sekedar merenungi apa yang sudah aku lakukan pada ibu, aku saat ini tengah menyiapkan hati.

Luka yang kemarin masih menganga harus aku tutup dulu. Aku harus mencari bagian lain dari hati ini untuk gali dan siap untuk dilubangi lagi. Dilukai lagi. Mungkin ini hanya sebatas ketakutanku, sebagaimana yang berkali-kali ibu katakan kepadaku. Tapi aku hanya percaya pada realita atau juga pengalaman yang telah banyak menggurui aku. Dan mereka semua telah membenarkan ketakutanku. Lima belas kali perjodohan dilakukan, dan ke-empat belas setengahnya adalah peristiwa yang merajut luka.

Empat belas setengah? Ya, sebenarnya ada sebuah perjodohan yang hampir saja berjalan lancar. Setengah perjalanan yang berjalan lancar harus terputus sebab adanya sesuatu yang mereka sebut dengan 'takdir yang memisahkan'. Dan ketika aku bertanya kepada ibu apakah ini sudah menjadi jalan takdirku, ibu lagi-lagi hanya menjawab dengan kata entah.

Hem, aku menjadi teringat dengan kisah setengah manis itu. Pemuda baik hati itu bernama Satria. Satria memang bak kesatria yang menolong aku dari kubangan kemalangan dalam hidupku. Suatu malam aku dipertemukan dengan Satria dalam sebuah malam perjodohan yang digagas oleh ibuku dan ibu Satria. Sebagaimana hal yang biasa terjadi pada setiap malam perjodohanku, Satria dan ibunya terkejut melihatku. Tapi, pemuda ini dan ibunya tidak kemudian mengumpat, mencaci maki, atau juga marah besar seperti halnya calon-calon sebelumnya.

"Aku Satria, senang bertemu denganmu."

Satria mengambil tanganku dan menangkupnya dengan hangat. Bak sebuah sambutan keterbukaan. Tangan Satria yang besar mampu menangkup seluruh bagian tangan kecilku. Ini benar-benar sebuah ucapan yang tulus. Aku dapat merasakan ketulusan itu.

"Cantiknya kamu malam ini," ujar Ibu Satria menambah rasa bahagia dalam benakku.

Selepas malam itu, Satria rajin berkunjung ke rumah. Terkadang ayah dan ibunya juga ikut menyambangi rumahku. Dia banyak bercerita tentang banyak hal. Ia menambah banyak pengetahuan bagiku. Ia memberitahuku banyak sekali hal yang tak pernah kuketahui sebelumnya. Ia juga seorang pendengar yang baik ketika aku tengah berkeluh kesah.

Yang aku tahu, Satria adalah seorang pria yang memiliki hidung yang mancung. Ia juga lebih tinggi dari aku dan jari-jari tangannya lebih panjang dari milikku. Dari yang aku tahu itu, aku dapat simpulkan bahwa ia adalah seorang pemuda yang tampan.

Hari berganti hari dan bahkan bulan telah berganti bulan. Aku dan Satria memutuskan untuk segera menikah. Satria yang sudah mapan berjanji untuk menjagaku sepenuh hatinya. Ia pun mampu meyakinkan aku di atas segala ketakutanku. Dia pemuda yang telah berubah menjadi seorang pria yang tepat.

Beberapa hari menjelang hari bahagia, Satria mendapat pengutusan surat kerja dinas keluar kota. Ibu Satria sempat meminta Satria menunda kepergian setelah hari pernikahan saja. Namun, aku sendiri tak berkeberatan melepas Satria pergi saat itu. Aku meyakini bahwa toh kepergian itu hanya untuk satu dua hari. Dan akhirnya Satria pun pergi menjalankan dinasnya. Hingga keesokan harinya kani mendapat kabar mengejutkan. Satria meninggal akibat kecelakaan yang dialami oleh busnya.

Bus yang ditumpangi oleh Satria menabrak sebuah pick up yang melaju kencang dari arah berlawanan saat hendak mendahului sebuah truk di depannya. Parahnya, sebuah bus lain yang mengekor di belakangnya pun menabrak parah bagian belakang bus itu dengan keras. Satria yang duduk di bagian belakang bus dikatakan tewas akibat banyaknya darah yang keluar. Bersamaan dengan itu, maka matilah sudah kisah bahagiaku. Pernikahanku dan Satria batal dan jelas saja menimbulkan luka baru. Luka dan kesedihan. Nahas benar.

***

"Tiga, dua, sa..."

Ucapannya terputus. Nafasnya tersengal-sengal. Seperti sesak tiba-tiba. Dalam riuh ramai terompet yang bersahut-sahutan dengan gempita suasana perayaan tahun baru, Bapak tumbang.

"Bapak..." teriakku sekencang-kencangnya.

Ibu beberapa kali memanggil-manggil bapak yang tumbang. Kami yang notabene berada di tengah lautan manusia dengan segala kehebohannya menyambut tahun baru justru berteriak-teriak kesetanan sambil menangis-nangis memanggil nama Bapak. Dan seketika keadaan ini berubah menjadi pusat perhatian. Beberapa orang laki-laki menghampiri dan membantu mengangkat tubuh bapak. Kejadian ini cukup menimbulkan kegaduhan baru yang akhirnya memaksa beberapa orang polisi berlari menembus kerumunan orang untuk mencapai kami. Setelah jelas memastikan keadaannya, salah seorang polisi tadi memanggil ambulans yang berjaga tak jauh dari alun-alun.

Suara sirine serta tatapan nanar ibu yang sedari tadi setia berada di samping bapak, mengatakan padaku bahwa ini bukan malam pergantian tahun baru yang indah. Suara sirine ambulans yang melintasi jalan utama kota yang lenggang itu memecah kehiruk pikukan perayaan malam tahun baru. Menuju rumah sakit terdekat, rumah sakit tegalyoso. Kesedihan ini menenggelamkan segala euphoria perayaan tahun baru ini.

Pukul 01.10 dini hari. Kota Klaten masih begitu ramai. Keramaian itu mungkin dpicu dengan banyaknya orang yang mengemudi kembali kendaraan selepas perayaan tahun baru dari kota sebelah, Yogyakarta. Aku dapat jelas melihatnya sebab letak rumah sakit ini yang berada tepat di tepi jalan utama Jogja-Klaten. Terlebih budaya orang-orang kami yang gemar melakukan perayaan di Yogyakarta, jalan ini kian larut kian ramai saja.

Bapak masih di ruang ICU dan saat ini sudah pukul 01.30 WIB. Dokter sudah lama berada di dalam ruangan dan belum ada kabar apapun tentang bapak. Sementara aku dan ibu masih saling berpegangan erat seolah saling menguatkan dalam kebisuan di luar ruangan.

Jam sudah menunjukkan pukul 02.05 WIB. Ibu masih terjaga meski wajahnya sudah terlihat sangat kelelahan. Aku pun masih duduk di samping ibu memastikan semua akan baik-baik saja. Tak berapa lama, ada seorang perawat keluar ruang ICU dan menyampaikan pesan dokter kepada kami. Dokter ingin menemui kami untuk menyampaikan pesan. Dan aku beserta ibu masuk ke dalam ruangan ICU.

Kami mendatangi dokter dengan segala rasa lelah, penasaran, kekhawatiran, dan bertumpuk-tumpuk rasa ketakutan. Kami hanya berbekal sedikit rasa percaya bahwa Bapak akan tetap baik-baik saja. Toh selama ini yang kami tahu Bapak tidak memiliki riwayat sakit aneh-aneh.

Dokter yang kami temui memasang wajah tegar. Beliau membenarkan dudukan kacamata sejenak sebelum akhirnya menegakkan kembali wajahnya menatap kami berdua. Aku dan ibu masih berdiri tegang dan kami belum benar-benar masuk untuk dapat melihat keadaan bapak.

"Ibu, tolong tabah. Bapak sudah tidak ada. Serangan jantung yang dialami sudah merupakan serangan ke sekian kali yang dipicu okeh beberapa penyakit lain yang diidap oleh Bapak."

Tangis pun pecah. Ibu memeluk aku erat-erat. Sesekali ia mengusap air matanya. Dan ketika siap, aku mengajak ibu menemui bapak untuk terakhir kalinya. Bapak berpulang ketika terjadi pergantian tahun. Sentuhan terakhir bapak yang begitu hangat telah tiada bisa kami rasakan lagi.

***

Tidak ada lagi kebisingan di luar rumah. Aku rasa hujan telah benar-benar berhenti. Aku sudah cukup merenungi semua ini. Aku tak ingin kantung mata ibu lebih besar dari ini. Sepuluh tahun sudah air matanya terkuras untuk menangisi kepergian bapak. Delapan tahun sudah air matanya terbuang percuma untuk menangisiku. Jarang rasanya mendengar gelak tawa riang ibu yang dulu sangat terdengar gurih itu. Mungkin, tersenyum pun kini ibu sangat jarang.

Aku akan mencoba mengenakan gaun ini. Apakah pas digunakan pada tubuhku. Ya, aku ingin menghapuskan tangisan ibu. Hatiku pun sudah kukuatkan.

Tepat sempurna. Semuanya pas di tubuhku. Gaun kali ini tidak sulit untuk dikenakan. Aku pun dapat mengenakannya seorang diri tanpa perlu dibantu ibu. Gaun ini juga begitu ringan. Gaun ini begitu mewakili diriku. Sesuatu yang sederhana, sesuatu yang sangat aku suka. Seperti bukan gaun pilihan ibu. Tapi mana mungkin.

"Dia benar-benar tidak menginginkan perjodohan ini...."

"Bu, katakan pada calonku nanti malam bahwa aku sudah siapn" ujarku memutus pembicaraan ibu.

Aku kembali berjalan masuk ke dalam kamar dan sempat sepintas mendengar suara ibu meneruskan perbincangan. Aku pikir ibu sedang menelepon calonku nanti malam.

"Kau sangat cantik mengenakannya."

"Terimakasih, Bu," aku pun tersenyum mendengarnya.

Ibu berjalan mendekatiku dan membantu membenahi beberapa bagian dari gaun yang aku gunakan.

"Bu, aku penasaran dengan warna gaun ini. Bisakah kau memberitahuku?"

"Warna merah muda, kesukaanmu. Ada apa?"

"Aku hanya ingin memastikan apakah aku memiliki warna senada untuk sepatuku."

"Oh begitu, baiklah."

"Aku heran, mengapa ibu belum juga mendandani aku?"

"Calonmu hanya berpesan pada ibu untuk melihat kau tampil apa adanya seperti yang kau suka."

***

"Aku tak pernah tahu mengapa engkau begitu mencintai hujan."

"Kau tak perlu memikirkannya. Kau hanya perlu merasakannya."

"Apa yang kau rasakan?"

"Bahagia. Hujan bisa mengantarkan sebungkus kerinduan tepat pada waktunya. Tanpa perlu mengurangi kadar kerinduan yang diterima oleh seseorang yang berada jauh di sana."

"Aku masih belum mengerti."

"Sesekali kau perlu menutup mata untuk merasakannya. Dan bahkan, seusai hujan kau akan tetap merasa bahagia seperti yang dibawa oleh pelangi."

"Apakah itu akan selalu terjadi? Apakah pelangi akan selalu ada menutup hujan? Apakah usai rindu, akan kutemui kebahagiaan?"

"Begitulah. Suatu saat kau akan menemuinya."

"Apakah bila aku merindukanmu, kau juga akan merasakannya?"

"Selama aku masih bernapas, dan kau sudi menitipkan rindumu pada tiap tetes hujan yang jatuh maka begitu pulalah tiap tetes itu merasukkan rasa rindu ke dalam diriku."

"Aku tak pernah ingin hari ini berakhir dan melihatmu pergi. Kau yang paling mengenalku. Kau yang paling dapat memahami aku melebihi siapapun."

"Sama. Tapi kita masih sama-sama muda. Kita masih punya cerita masing-masing."

"Aku akan sangat kehilangan sahabat terbaikku."

"Ingatlah, aku akan mengenalimu kapan saja, dimana saja, dan bagaimanapun juga keadaanmu."

***

Aku begitu merindukan dia. Sahabat terbaik yang pernah aku milikku. Entah bagaimana kabarnya sekarang. Entah mengapa tiba-tiba aku menaruh rasa rindu kepadanya. Selalu saja berulang lagi, lagi, dan lagi.

"Bu, apa hujan sudah sepenuhnya berhenti?"

"Masih sedikit gerimis."

"Berapa lama lagi kita akan berangkat?"

"Tiga puluh menit lagi."

"Aku sedikit khawatir, Bu."

"Tenanglah kali ini akan sedikit berbeda."

"Bukan begitu, aku khawatir dengan jalan yang akan sangat ramai. Malam ini malam tahun baru, Bu."

"Iya."

"Bagaimana kabar bapak ya, Bu?"

"Iya pasti akan bahagia malam ini. Bapak pasti menaruh restu."

"Baiklah. Akan makan malam dimana kali ini, Bu?"

"Kali ini calonmu tidak ingin bertemu di rumah makan. Ibu juga belum tahu dimana."

Andai saja, segala kemalangan akan berakhir malam ini. Aku yakin bapak akan benar-benar dapat tersenyum.

***

Aku rasa aku telah tiba. Aku bersiap turun dari mobil. Ibu membukakan pintu. Tapi beliau tak segera meraih tanganku. Ibu menggantikan sepatu cantikku dengan sepasang sepatu kats.

"Apa tempatnya tidak berlantai, Bu?"

"Sedikit becek di luar sehingga kau harus mengenakannya."

"Apa dia serius, Bu?"

"Sangat serius. Mari kita turun!"

Aku segera turun. Sepatu ini begitu nyaman. Pas sekali di kakiku. Padahal bukan sepasang sepatu milikku. Begitu aku keluar, aku rasa ada yang aneh. Sepi, tak ada hingar bingar. Rasa dinginnya malam segera merangkulku. Aku takut dingin ini bisa membuatku jatuh sakit.

Dibantu oleh ibu, aku berjalan entah kemana. Hingga mencapai suatu tempat yang benar-benar tak aku kenali. Ibu melepaskan tangannya perlahan.

"Ibu mau kemana? Jangan tinggalkan aku sendiri, Bu!"

"Ibu hanya mau mengambil jaket. Ibu tak kuat menahan dingin. Tak apa, di sini aman."

Aku merelakan ibu meninggalkan aku. Aku berdiri sendiri. Di tengah tempat yang aku tak tahu dimana itu. Bau tanah menyerbak seketika. Aku begitu merindukan bau ini. Sudah lama aku tak berada di luar ruangan. Hanya tersekap dalam ruang tidurku saja.

Ibu masih juga belum datang. Aku meraba ke sana ke mari untuk mencari tahu dimana aku. Aku berjalan mencari pegangan. Aku tiba-tiba merasa takut.

"Mbak mau duduk di sini?"

Tiba-tiba ada suara mas-mas. Dia menyapa perlahan mungkin takut mengagetkan aku.

"Maaf, mas saya tidak bisa melihat. Ini dimana ya?"

"Ini di GOR, Mbak."

Oh tidak. Ini tempat terakhir aku bisa melihat gemerlapnya dunia. Gelanggang Olahraga Klaten. Aku pernah mengalami kecelakaan di tempat ini. Delapan tahun lalu, saat aku ingin menghibur diri bersama dengan ibu mengenang dua tahun kepergiaan Bapak, kami memutuskan pergi ke tempat ini. Bertepatan dengan sebuah rombongan mengadakan pasar malam di sini. Saat menjelang tahun baru selepas hujan, aku dan ibu pergi ke tempat ini. Ibu mempercayakan padaku bahwa Abi akan hadir juga malam itu. Aku begitu bahagia malam itu. Aku dengan sukacita pergi ke pasar malam.

Aku dan ibu memutuskan untuk menaiki bianglala selagi menunggu Abi tiba. Tapi usai mengikuti 3 kali putaran bianglala, Abi tak kunjung datang. Aku dan ibu memutuskan untuk menyudahi permainan dan ingin segera pulang. Tapi nahas, saat aku melangkahkan kaki mengikuti ibu yang sudah menuruni bianglala terlebih dahulu, aku justru terjatuh terpeleset dari bianglala hingga kepalaku membentur kerasnya besi bianglala sekaligus keras dan dinginnya lantai tangga naik bianglala. Aku terpleset begitu saja sebab licinnya lantai bianglala usai terguyur hujan.

Bau anyir tiba-tiba tercium. Mungkin hanya perasaanku saja. Mana mungkin darah yang telah tercecer yang telah terkubur bersama dengan tanah yang telah disiram dengan ribuan hari hujan tiba-tiba mencuat begitu saja. Hal ini membuatku semakin takut. Pasar malam, bianglala, hujan, dan hari di penghujung tahun telah berulang kali mencuri kebahagiaanku begitu saja. Seringkali ia mengambilnya tanpa permisi. Mana ada hujan yang mengantarkan kerinduan. Mana ada pelangi selepas hujan yang akan mengantarkan kebahagiaan. Semua itu tak berlaku bagiku, bagi seorang Lastri.

Ibu masih juga belum datang. Aku meringkuk, menangisi kemalangan yang menyelimutiku. Tak pernah ada nasib baik bagiku di tiap penghujung tahun. Mana ibu? Jangan-jangan aku ditinggalkan di sini malam ini sendiri. Aku pasti akan mati karena ketakutanku sendiri ini. Aku benar-benar tak tahu lagi.

Tiba-tiba rasa hangat mendekapku. Apa ini? Jaket?

"Ibu?"

"Bukan. Maafkan aku, Lastri."

"Siapa kamu?"

"Aku calon yang dijodohkan dengan kamu."

"Kamu tahu aku buta?"

"Tahu. Aku sudah tahu segala hal tentangmu. Gaun yang kau kenakan sangat pas untukmu. Tapi aku tak tega membiarkanmu kedinginan begitu."

"Kau yang membelikan gaun dan sepatu ini untukku?"

"Hem, sebenarnya iya. Apa itu terasa tidak nyaman untukmu?"

"Ini begitu mewakili aku. Aku tak yakin mengapa aku merasakan ini, tapi seolah kau telah mengenalku begitu lama. Begitu pula sebaliknya."

Pemuda yang satu ini meraih badanku dan membantuku berdiri. Ia mendudukkan aku pada sebuah bangku tak seberapa jauh dari tempat kami tadi.

"Kau pernah mendengar cerita tentang hujan?"

"Pernah."

"Mereka selalu bilang kalau hujan akan selalu berakhir dengan pelangi. Bahwa setiap kerinduan itu akan pasti berakhir dengan kebahagiaan. Tapi nayatanya tak selalu demikian. Tak selalu setiap hujan berakhir dengan pelangi."

"Aku sepakat dengan itu."

"Tapi, memang pada akhirnya akan ada hari-hari hujan yang berakhir dengan pelangi. Akan ada hari-hari bahagia usai kesedihan. Kau harus percaya itu, Mbem."

"Mbem? Abi?"

"Maafkan aku selama ini telah membiarkanmu melalui masa-masa sulit sendirian. Aku sudah beberapa tahun ini mencarimu dan baru beberapa bulan ini aku berhasil menemukan dirimu."

Aku menangis mendengarkan suaranya kembali. Suara yang tak kukenali lagi setelah belasan tahun berpisah.

"Tak apa, Bi. Seperti katamu, kita sudah menjalani kisah kita masing-masing. Toh akhirnya kita dipertemukan lagi."

Abi memegang tanganku mencoba menenangkan. Abi memapahku berdiri dan berjalan entah kemana.

"Ibu sedari tadi mengawasimu. Hanya aku mencegah ibu sambil menunggu moment."

Tiba-tiba suara gaduh terdengar. Terompet dimana-mana. Aku mendengar suara letusan kembang api membahana di langit-langit kota kecil ini.

"Lastri, ini sudah berganti hari, berganti tahun, aku ingin kau pun mengganti lembar kisah lamamu menjadi kisah baru bersamaku. Aku ingin meminangmu menjadikan dirimu sebagai istriku."

"Apakah sehabis hujan tadi kau melihat pelangi, Bi?"

"Hem, aku rasa iya."

"Aku rasa itu pertanda akhir bahagia bagi kita."

Terompet tahun baru bersahut-sahutan, letusan kembang api begitu menggema. Bahagia juga terasa nyata kini. Sesuatu yang abadi yang tersingkap dalam indahnya pelangi selepas hujan.

You Might Also Like

1 komentar

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images