Hidup Adalah Pilihan, Memilih Untuk Tidak Memilih Mungkin

23.55

- 19 Januari 2013 -

Salut!

Belum terlambat kan ya untuk menyapa Januari yang menari-nari menjadi inspirasi dan semangat untuk bangkit lagi. Hai Januari, berbaik hatilah kepada saya tahun ini. Tapi sejauh ini, Januari masih memberi aku kesempatan banyak bermimpi.

Dimulai dengan tanggapan aku dalam menjalankan kehidupan.
Hidup itu adalah pilihan. Termasuk satu di antaranya adalah memilih untuk menutup pilihan itu sendiri bagi diri kita. Loh? Aku sering mendengar banyak orang mengeluh dan mempertanyakan mengapa aku bisa berbuat A, berbuat B, berbuat C, sampai Z sementara mereka sulit atau bahkan berkata 'tidak bisa' seperti itu.


Masalahnya simple. Aku memilih untuk membuka diri aku terhadap ragam pilihan di dalam hidup aku. Aku membiarkan ruh aku menjadi 'liar' untuk menikmati semua pilihan dalam pilihan hidup. Meskipun demikian, aku menghargai tiap pembatasan yang kemudian menjadi batas maksimal toleransi dalam menjalani pilihan itu. Aku sendiri memilih untuk dapat memilih. Aku menyadari itu, dan itu menjadi satu dan lain hal yang banyak membukakan pintu kesempatan dan mimpi dalam hidup aku.

Kebanyakan orang yang mengeluh kepada aku tadi, belum berani untuk keluar dari 'comfort zone' nya. Belum berani untuk membuka pintu pilihan hidup mereka seluas-luasnya. Sedikit dari mereka yang justru memilih untuk tidak memberikan pilihan kepada dirinya sendiri. 

'Loh kok gitu? Enak kamu hidup sebagai orang normal, dengan permasalahan yang normal.'

Ingat, keterbatasan itu kita yang ciptakan sendiri. Normal bagiku, adalah suatu hal yang relatif. Sama halnya dengan kata 'cantik', 'tampan', 'mempesona', 'manis', dan 'lucu'. Sudut pandang kita selama ini ditarik ke dalam suatu pandangan kolektif yang menerima mentah-mentah paradigma lapangan. Padahal, kita hidup tidak dalam satu kondisi lapangan yang sama (homogenitas). Semua itu menjadi relatif karena ke-heterogenitas-an ini, meskipun pada akhirnya kita menyadari dan membuat batasan-batasan absolut yang berlaku bagi diri kita sendiri. Ingat, tiada orang yang identik tanpa memiliki perbedaan sebesar biji zarah pun. Saudara kembar identik pun memiliki perbedaan parsial (yang mungkin tidak nampak besar gitu sih). 

Lalu, aku memaknai bahwa tiap orang memiliki hak yang sama kok dalam memilih sesuatu. Batasan itu mulanya muncul dari diri sendiri (individu). Lalu muncul kembali dalam skala komunitas kecil, dan pada akhirnya meluap sehingga menciptakan sistem-sistem yang membatasi. Itu. 

Contoh paling gampang ya, kita mengenal yang namanya kemiskinan. Kemiskinan struktural dan kemiskinan kultural. Dialah yang paling gampang menjadi contoh batasan itu. Coba kalian telusuri. 

Sekarang aku bertanya, adakah pasal yang menjamin hak hidup orang tidak mampu?
Ada.

Ada tidak peraturan yang mengatur tentang kewajiban negara dalam mencerdaskan anak bangsa?
Ada. Toh, anak-anak tidak berkemampuan secara fisik, sosial, psikis, dan ekonomi kalau toh masih termasuk anak bangsa juga termasuk yang dititipkan untuk dicerdaskan.

Lalu apa yang membatasi? Atau apa yang akhirnya menciptakan sistem yang berkebatasan? Atau apa sih yang pada akhirnya menciptakan kemiskinan?

Mudah saja. Tanyakan kepada diri anda sendiri. Sudah beranikah anda menantang diri anda sendiri untuk keluar  dari zona aman anda. Sekedar memberikan kesempatan pada diri anda sendiri untuk mulai berani memilih? 
Itu.

Kita rubah skenario cerita pendek seorang anak dari keluarga miskin. Yang mungkin skenario 'normal' yang berlaku di masyarakat adalah anak tersebut akan tumbuh terbatas, dengan pendidikan ala kadarnya (semampu bayarnya), yang kemudian menciptakan generasi miskin selanjutnya. Nah, sekarang kita akan ubah menjadi:
Seorang anak terlahir dari sebuah keluarga yang miskin (yang notabene telah terlanjur memilih untuk menutup kemungkinan memilih). Ia beranjak besar dengan doktrinasi lingkungannya untuk memilih hidupnya sebagai perahu yang mengikuti aliran deras air kehidupan tanpa harus memilih. Tapi kemudian si anak memilih untuk memiliki pilihan. Ia bertanya, "mengapa aku tidak mampu bersekolah dengan orang lain yang secara kasat mata, sama-sama manusia makhluk ciptaan Tuhan?" Lalu kemudian ia memberanikan diri untuk memiliki pilihan dengan memilih memiliki mimpi kecil yang cukup sederhana. Bersekolah dengan sekolah yang berseragam dan memiliki lapangan basket. Ia pun mendoktrinasi dirinya bahwa ia sama dan belajar giat, rajin mencari informasi dan bertanya sana sini. Sampai karena ia mampu menciptakan karya yang mampu menarik orang menyekolahkan ia di sekolah unggulan. Sehingga berangsur-angsur ia memiliki tolok ukur yang kemudian meningkat waktu demi waktu satu per satu anak tangga itu sampai akhirnya ia mampu menciptakan lingkungan baru bagi keluarganya yang keluar dari lingkaran setan kemiskinan selama masa mudanya. 

Nah lalu apa semua bisa begitu?
Tentu bisa! Tapi sulit dilakukan jika anda sendiri tidak yakin anda bisa melakukannya. Alam bawah sadar anda (ala Dedy atau Romy), harus yakin benar bahwa anda bisa. Dan keyakinan inilah yang kemudian akan memberikan sugesti pada diri anda sehingga memiliki energi yang positif dalam keseharian. Jelaskan fokus anda dan lakukan integrasi kecil antara logika dan rasa anda. 

Indikator keberhasilannya?
Itu bergantung kepada apa yang sesungguhnya anda cari. Tanyakan pada diri anda sendiri. Jika kebahagiaan yang anda cari, jangan pernah jadi orang yang perhitungan dalam menjalaninya. Tidak ada konsep "Laba-Rugi" dalam tujuan mencapai kebahagiaan. Kebahagiaan itu adalah rasa. Cipta rasa yang abstrak, tapi nyata adanya dalam diri kita. 
Berbeda jika tujuan anda adalah profit. Anda fokus untuk mencari profit? Maka konsep dasar ilmu ekonomi berlangsung di sini, "Dengan usaha sekecil-kecilnya untuk mendapat hasil sebesar-besarnya."
Tapi keduanya atau mungkin dengan poin lain yang anda cari, semua berupa hal-hal yang tidak terbatas. Anda sendiri adalah orang yang anda pikirkan. Maka semampu apa dan seingin apa, itu adalah hal yang perlu anda definisikan ulang. Jelas. 

Satu lagi, jika anda belum bisa melakukan suatu hal, katakan saja belum bisa dan jangan katakan tidak bisa. 
'Tidak bisa' bagiku mengkondisikan seseorang menutup pintu kemungkinan untuk menjadi bisa. Dan hal-hal yang kita ucapkan dan sering pikirkan itu lah yang sebenarnya sedikit banyak mempengaruhi karakter dan kebisaan yang muncul pada keseharian kita.

Mampulah untuk memberanikan diri dalam memilih. Pilihan itu adalah sesuatu yang nyata keberadaannya. Tinggal kita saja, memilih untuk memiliki pilihan itu, atau sama sekali untuk menutup pintu pilihan itu. 

- Anggi Siregar -

You Might Also Like

0 komentar

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images