Sang Nahkoda dan Kapten Hook: Biru, Bulan, dan Bintang

14.13

Kapal masih berlayar. Mungkin barang belasan hari lagi kapal akan menepi. Tepian impian dari Siberian of Dream akan segera menyambut. Perasaan yang ada semakin tercampur dan teraduk-aduk tak karuan. Rasa-rasanya semua telah berbaur dengan butir-butir kecil air yang pecah bersamaan dengan waktunya ia menerjang karang. Ada secuplik kebahagian yang mencuat begitu saja. Mungkin secuil kebahagian dari membayangkan betapa lembutnya sapaan si kasur pada tubuh nahkoda dan para awak lainnya. Serta mungkin secuil kebahagiaan lain saat membayangkan betapa hangatnya teh rumahan setibanya nanti di Pulau Siberian of Dream.



Namun hadirlah jua bersama kebahagiaan itu sejumput rasa risau. Mungkin di antara kita sama-sama tahu bahwa tiap tawa hadir satu paket bersama tangis. Begitu jua dengan bahagia dan risau yang kini hadir berdampingan di hati para awak kapal termasuk jua sang nahkoda. Perasaan tak ingin berpisah atau juga perasaan akan saling rindu. Sebagian mengatakan tak akan pernah bisa melupakan beragam peristiwa susah senang bersama di kapal ini. Sebagian lainnya berjanji akan memberi kabar sebulan sekali. Sisanya acuh tak acuh menghadapi hari-hari akhir ini.

Malam lalu, bulan begitu sempurna. Lebih dari sekedar Sang Purnama yang sebelumnya. Bulan hadir membawa serta bintang bertahta di kelamnya langit malam. Mereka menepikan berjuta rasa gelisah dalam hati insan dunia. Salah seorang awak ada yang menggilai bulan dan bintang teramat sangat. Awak yang kerap dikenal dengan nama Biru ini begitu mencintai malam beserta bulan dan bintang. Tengah malam pun ia mengendap-endap menaiki dek kapal paling atas untuk bisa sekedar bercakap semu dengan sang bulan dan bintang. 

Saat seluruh awak kapal yang lainnya tertidur lelap, Biru memutuskan untuk menjumpai Bulan dan Bintang seorang diri. Biru memulai perbincangan. Membuka topik sekilas tentang Sang Nahkoda yang kini mulai jarang keluar kamar, jarang menjumpai para awak kapal. Topik bergulir begitu saja memasuki babak baru percakapan tentang seorang awak laki-laki bernama Langit. Biru diam sejenak sebelum memulai percakapan ini. Ia sempat menarik napas dalam-dalam lalu mengeluarkannya perlahan. Biru melakukannya dua sampai tiga kali. Seolah ia akan memulai babak panjang yang ia sendiri tak meyakini babak panjang itu akan berlabuh di mana. Biru menatap lembut Bulan dan tak lekang memandangi samar-samarnya maria bulan, ya bagian cekung bulan yang menyerupai kelinci itu. Nada bicara Biru tak seantusias babak cerita lainnya. Ya, nadanya berbeda dari saat ia bercerita tentang Sang Nahkoda dan para awak lain. Sepertinya ada banyak pertentangan di dalamnya. 

Biru pun mulai bertutur. Menyebut nama Langit, suaranya melemah. Ada secuil rasa takut di sana. Langit, seorang awak kapal sama sepertinya. Seorang awak kapal yang kerap bertentangan dengannya. Seorang awak kapal yang pernah bertemu pandang dengannya selepas menjumpai Sang Purnama. Seorang awak kapal yang tak ditampiknya kerap menjadi pengunjung dalam pikirannya. Seseorang yang mampu membuatnya ketakutan hingga khawatir berlebihan dalam kurun waktu yang berdekatan. Biru tak tahu mengapa bisa demikian Langit membuatnya begitu. Langit yang bisa jadi seseorang yang begitu hangat dan peduli kepada Biru. Tapi bisa juga berubah menjadi Langit yang dingin dan kaku kepada Biru dalam satu jentikan jari saja. Menjebak Biru dalam lautan salah tingkah. 

Suara Biru makin memelan. Mungkin ia kelelahan selepas berbenah kapal seharian dengan hanya beberapa orang awak kapal yang sama-sama mati-matiannya dengan ia untuk menjaga agar para awak tak mati sia-sia ditelan samudera akibat lalai perhatikan kebersihan. Dikatakan oleh Biru, ia tak dapat menegaskan sikap pada Langit. Biru menatap Bulan jauh lebih teduh. Hembusan angin malam mengantarkan sebuah kisah. Mengingatkan Biru pada perasaan-perasaan lain yang ia jumpai pada tiap perjumpaan dengan Langit. Bahkan Biru teringat akan sebuah tanya salah seorang awak kapal lain bernama Jingga. Sepenggal pertanyaan tentang perasaan suka yang dimiliki oleh Biru. 

Perasaan suka yang sederhananya dapat diejawantahkan sebagai perasaan peduli. Pada Bulan, Biru bercerita bahwa ia mencoba menempatkan rasa suka itu sesederhana yang telah dilakukan oleh Fatimah Az-Zahra, putri Rasulullah SAW. Menjaga perasaan suka itu sampai suka atau cinta itu menjadi halal baginya ketika seseorang yang diharapkan mampu melangkahkan kaki dan meminta Biru pada ayahnya.

Saat Fatimah menaruh perasaan suka pada Ali bin Abi Thalib cukup Allah yang tahu akan perasaan itu. Ia membungkus perasaan itu dalam diam. Hanya dalam tiap doa panjangnya, tiap-tiap sujudnya ia mohonkan Ali menjadi jodohnya. Dalam diam, perasaan itu pun sampai tak terucap jua pada ayahnya. Begitu juga denga Ali bin Abi Thalib. Saat ia belum mampu meminang Fatimah cukup baginya mencintai Fatimah dalam diam. Maka dalam tiap-tiap doa yang didengar Allah itulah, Fatimah diikatkan ataupun dibuat berjodoh dengan Ali. Bahkan, Rasulullah SAW menolak pinangan dari banyak lelaki yang sebelumnya telah datang mencoba meminang Fatimah, tanpa diketahui sebelumnya Fatimah dan Ali sama sama menaruh rasa. 

Maka dalam tiap doa Biru, ia ingin menjadi seperti Fatimah Az-Zahra yang mampu menempatkan rasa suka itu dalam diam, hingga suatu waktu nanti akan ada seseorang yang berani mengambil langkah tuk memintanya pada ayahnya. Seseorang yang mungkin telah ia kenal. Bisa jadi siapapun. Tapi dalam diam, dia mencoba mengenali benar seseorang yang dia suka hingga suatu kali nanti akan ada nama yang ia mohonkan pada Tuhan. 

Malam ini Bulan cukup menjadi pendengar setianya. Tangkupan hangatnya membuat sendu suasana yang mungkin tak akan sampai hati membunuhnya dalam salah perasaan. Sejenak ia mengingat nama-nama yang telah ia perkenalkan pada bulan dan bintang, lalu ia memutuskan untuk mengistirahatkan mata. Entah sesiapa nanti dan apa yang ia rasa sekarang. Tapi bulan dan bintang cukup membuat tentram malamnya. 

You Might Also Like

0 komentar

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images