Sang Nahkoda dan Kapten Hook: Tepian yang Salah

16.42

Kapal belum lama menepi. Lebih tepatnya mungkin kapal telah berlabuh meskipun belum lama ini. Semenanjung Kemenangan begitu kabarnya. Seluruh awak bersorak sorai jauh jauh sebelum kapal itu menepi. Tapi perlu diketahui, kapal benar-benar sudah tak utuh kala mencapai tepian. Banyak tambalan sana sini yang membuat kapal ini terseok-seok di pekan-pekan akhir masa berlayarnya. Sang Nahkoda telah terjun bebas dari papan panjang hukuman dua pekan sebelum kapal mencapai daratan. Para awak bergunjing mungkin hal itu dikarenakan ketertarikan Sang Nahkoda pada sebuah Pulau yang kilaunya menyulapkan mata di pekan-pekan kritis. Sang Nahkoda yang baru naik tahta sempat membuat beberapa awak naik pitam.

Kini, kapal ini beserta dua kapal persahabatan lainnya telah menepi. Kalau tidak salah meyakini, kami menepi di Siberian of Dream. Tapi, entah mengapa satu per satu awak bagai hilang ditelan bumi. Pulau ini begitu sepi dan senyap tak ada hingar bingar kota dan ramah tamah warga setempat yang ramai diperbincangkan awak kapal lain di dermaga dulu-dulu. Ataukah para awak kapal dan Sang Nahkoda baru salah membaca peta. Mungkinkah mereka berlabuh pada tepian yang salah? Atau mereka hanya terbawa pada suasana ego masing-masing di rumah baru masing-masing? Ataukah ini yang disebut Pulau Hantu, yang kerab disebut tak nampak di peta dan letaknya bersebelahan dengan Pulau Siberian of Dream? Mungkinkah di sini Pulau yang menjadi singgasana besar Kapten Hook?




- Catatan Biru: Tepian yang Salah -

Sang Nahkoda yang baru naik tahta nampaknya lupa dengan satu paket tanggung jawab yang menyertai jabatan barunya. Ia mungkin mengira upacara malam itu sebatas formalitas. Serah terima jabatan disertai dengan riuh rendah suara para wanita sang pemilih utama nahkoda baru ini. Ah, aku juga salah satunya. Tapi mana ada lagi yang bisa aku pilih selain calon yang satu itu. Mungkin saat itu sudah tidak ada pilihan. Ya, terjebak pada hal-hal yang tak bisa aku ingkari. Kini naik betul darahku ke ubun-ubun. Aku tak bisa berkompromi dengan senyum ramah tamah kepada seseorang yang memang sempat aku kagumi, aku pilih sebagai tempat bercerita selama perjalanan panjang pelayaran ini. Seseorang yang sempat aku hormati selama puluhan hari mengapung-apung tak jelas begini.

Hari-hari terakhir di kapal semakin memburuk. Jingga makin sering jatuh sakit, menangis, dan tak jarang ia begitu kelelahan hingga tiada tenaga bersisa. Senja makin sering naik darah. Ia semakin sering dijumpai dalam keadaan emosi yang tak stabil, berteriak, membentak, atau terkadang berceloteh tak jelas menyambar tawa angin. Aku? Masih sempat terpikir oleh kalian untuk memikirkan aku? Aku sesekali memang terjebak pada gerombolan perasaan marah yang selalu datang bersamaan dengan rasa bersalah yang akhirnya berujung pada penyiksaan batinku seorang diri saja. Ketika ingin meluapkan amarah, diriku mempertentangkannya dengan etiket berhubungan baik dengan orang lain. Ketika ingin melontarkan sentakan, diriku mempertentangkan dengan perasaan bersalah dan takut menyakiti perasaan orang lain. 

Terkadang, aku jauh lebih takut untuk membuat seseorang jatuh ke lubang kebencian yang membuatnya enggan bangkit untuk memandangku kembali. Pernah aku bermimpi, mungkin aku akan lebih damai ketika fajar datang menjemput beserta sapaan lembut sang embun dan mengajakku menari bersama hembusan angin. Kadang aku juga berharap keluwesan itu bisa membantu aku tercebur dalam bisunya sang samudera. Menenggelamkan raga ini dalam diam, tak bermasalah, hingga hilangku tak berbekas dan bahkan akan membawa damai bagi awak lainnya. Tapi, ketika logikaku berarakan kembali, mereka menggugahku dalam keadaan yang sebenarnya. Membenturkan aku pada fakta-fakta bahwa aku masih ingin hidup. Aku masih ingin menjumpai Siberian of Dream dan Semenanjung Kemenangan yang orang elu-elukan.

Hari-hari akhir begitu menyeramkan. Satu per satu awak kapal menggila. Aku tak bisa memihak, tapi tak juga bisa tak menunjukkan rasa tak sukaku pada beberapa hal. Aku turut dalam pusaran kegilaan. Membuat aku dianggap berkorban banyak padahal tidak. Aku hanya berlaku sepantasnya dan seharusnya. Mungkin hal ini tak mereka anggap. Pahamkah kalian. Hal yang kalian anggap luar biasa ini adalah hal biasa yang tidak kalian lakukan saja. Sederhana. Kapal kami bocor di sana sini. Kami membentur karang beberapa kali sebab navigasi yang diberikan sering salah. Mungkin karena rasa gembira berlebihan yang membumbui atau mungkin rasa lelah yang begitu luar biasa yang dipikul sang navigator.

Hari-hari terakhir aku jadi sering menjumpai Langit. Aku berharap bisa menekan segala kemungkinan tapi sulit memang. Bagaimana tidak sulit, Langit menjadi lebih baik secara pribadi dan bahkan ia sedikit memperlakukan aku dengan lebih baik lagi. Tapi aku masih percaya pada bisikan Sang Bulan yang aku yakini kata itu sederhana tapi dalam maknanya. Istiqomah. Lebih baik tak berharap hal yang mustahil. 

Kapal perlahan sudah mau menepi. Sementara beberapa awak masih sibuk menambal bocornya badan kapal, ada pula yang tengah mempersiapkan jangkar untuk diturunkan, tapi masih terlihat beberapa awak yang asyik berkemas-kemas cantik meyakinkan diri apa yang ingin dicarinya di Semenanjung Kemenangan. Ada lagi yang malah mengunci diri di dalam kamar. Seolah sudah ingin lekas berpisah. Yah, memahami dinamika persatuan dan kesatuan dalam kapal ini semakin tak karuan.

Kemarin pagi-pagi buta kapal ini telah berlabuh di Semenanjung Kemenangan di Pulau Siberian of Dream. Yah kami menepi dengan bangunan asa baru. Kapal kami dan kedua kapal lainnya menepi dengan selamat. Entah bagaimana dengan kedua kapal lainnya, tapi kasihan betul keadaan kapal kami. Jangan dikira kapal kami masih segagah saat pertama kali berlayar. Tak yakin kapal ini sanggup berlayar kembali untuk pulang, mengulang perjalanan dari awal. Layarnya sudah sulit untuk terkembang. Badan kapal sudah tak lagi utuh, mungkin kalau pelayaran ini tak berujung, kami sudah akan karam hari ini. Kurasa, mimpi kami juga tak lagi utuh. Tembel sana sini untuk terlihat setidaknya masih ada harapan.

Janggal. Ya, kami sudah berlabuh di pulau kenamaan ini tapi ada yang janggal. Tak ada hiruk pikuk orang-orang setempat atau juga kegiatan perniagaan. Aneh. Mana keramahtamahan orang-orang di pulau ini. Mana keramaian dan keindahan yang tersohor ini? Aku rasa ada yang salah dengan semua ini. Aku pikir ini mungkin bukan Semenanjung Kemenangan Pulau Siberian of Dream. 

Jenggala yang begitu rimbun dengan pohon berusia ratusan tahun sajalah yang dapat kami temui selepas beranjak dari pelabuhan. Semakin berjalan menjelajah, makin mencekam saja. Tak ada kota, tak ada manusia lain selain kami. Senja datang begitu cepat. Senja yang datang membuat beberapa di antara kami mulai merasa khawatir, termasuk aku. Beberapa lain masih tegar berjalan menantang langit yang hampir tak terlihat akibat rimbunnya daun dari pohon-pohon yang besar-besar ini.

Hari hampir gelap dan akhirnya Langit berinisiatif membangun tenda. Sayang, tangannya yang telah penuh dengan luka sayap selepas menebas ranting-ranting selama perjalanan tadi membuatnya tak mampu berkutik untuk membangun tenda-tenda itu. Alhasil, aku, Jingga, dan dua orang rekanan awak kapal dari kapal lainnya turun tangan. Selagi Langit memberi instruksi, kami membangun tenda-tenda itu. Sementara yang lain ada yang sibuk bercengkrama dan beberapa lainnya ongkang-ongkang kaki. Sang Nahkoda perannya semakin samar terlebih ia merasa aman karena kini sang ketua rombongan yang membawahi tiga kapal ini telah bersama kami. 

Hari sudah gelap, untung beberapa tenda telah mampu menampung badan-badan lelah ini. Bersamaan dengan gelap, Jingga dan aku meyakini ada puluhan pasang mata mengincar dari balik semak. Pasang mata yang menyeramkan itu seolah bengis dan kejam. Menunggu kami lengah hingga siap mereka sergap dan berhasil mereka santap. Malam itu, semua tertidur. Hanya aku dan Jingga yang tetap terjaga. Ya kami terjaga untuk berjaga. Tiada rekan berganti giliran. Alasan mereka, lelah. Yah, mungkin mereka pikir Jingga dan aku adalah sepasang superhero yang badannya tercipta dari puluhan ton baja dan tak memiliki organ dalam yang perlu dikasihani. Ya, mungkin hanya kami yang tak memiliki rasa lelah. 

Keesokan pagi menjelang. Kelamnya jenggala menjelma menjadi jenggala yang teduh. Jingga dan aku masih berjaga. Puluhan mata menyeramkan itu sudah satu per satu meninggalkan rombongan kami. Tak berapa lama Ketua Rombongan keluar membawa peta. Sang Ketua, Jingga, dan aku mencoba menyusur kertas peta itu. Seketika mataku dan Jingga bertatapan. Mata kami terbelalak menjumpai sebuah temuan. Kami sedang tak berada di Semenanjung Kemenangan. Kami sedang tak berada di Pulau Siberian of Dream. Kami ada di muka yang salah. Kami berada di Pulau Sheol. Pulau yang diyakini banyak pelayar merupakan pulau angker yang tak pernah membawa kembali pelayar yang sampai ke Pulau Sheol ini. Pulau ini berdampingan dengan Pulau Siberian. Dalam peta, pulau ini digambarkan samar-samar karena memang tak ada yang pernah tau dimana letak tepat dari pulau ini. Hanya memang banyak bercerita bahwa banyak pelayar yang tak sampai ke Pulau Siberian tersasar ke pulau ini dan tak pernah dapat dijumpai lagi pelayar tersebut. 

Aku bergidik menyadari semua ini. Aku lekas lekas membangunkan seluruh anggota pelayaran. Sementara Sang Ketua, Jingga, dan aku sibuk mengemasi tenda dan mempersiapkan pelarian kami untuk keluar dari jenggala ini, lainnya malah sibuk menebar rasa takut dan panik kesana kemari. Bukan jalan keluar. Barisan pelarian disusun. Sangking takutnya semua berjubel di tengah, hanya tersisa Sang Ketua, Jingga, Langit, dan aku. Alhasil kami dibagi dua. Dua orang di depan dan dua orang di belakang. Dua orang masing-masing ini bertugas untuk mengamankan rombongan dari berbagai kemungkinan serangan yang bisa saja datang sewaktu-waktu. Rombongan berangkat. Para penjaga tidak boleh lengah. Mata ini harus tajam mengawasi. Berbekal parang panjang, tongkat kayu, dan juga pisau belati para penjaga tidak boleh membiarkan satu di antara rombongan mereka terluka. Mungkin prinsip kami pengorbanan. Jingga mulai tak habis pikir dengan polah tingkah rombongan. Barisan melarikan diri ini memang unik.

Malam ini kami bermukim, istirahat sejenak. Jenggala begitu pekat untuk dilalui di malam hari tanpa cahaya. Tenda lagi-lagi hanya dibangun oleh Jingga, Senja, dan aku. Langit dan Sang Ketua tengah sibuk mengobati diri sebab mereka memang sempat bergulat dengan pasir hisap semalam. Aku mungkin tengah mengidap anoreksia. Badanku juga tengah dilanda demam tinggi. Tapi mana mungkin aku meninggalkan Sang Ketua yang tengah sakit akibat peristiwa penyelamatan semalam untuk berjaga seorang diri. Alhasil setelah memberi cukup perbekalan untuk berperang, Sang Ketua beristirahat. Tak berapa lama Jingga keluar dari tenda dan langsung menempatkan diri di sebelahku. Kami kembali berjaga malam ini. Pasang mata bengis itu muncul lagi. Mengawasi dan mengintai tiap gerak gerik kami. Jingga dan aku sepakat untuk kembali memaksakan diri untuk terjaga. Menjaga seluruh rombongan yang aku percayai masih membawa harapan untuk tetap hidup bersama-sama.

Pagi menjelang, Jingga jatuh sakit. Bagaimana tidak, tubuhnya tak terbiasa disiksa begini. Sekali tersiksa begini ya jelas sakit jadinya. Aku masih bertahan. Hari ini adalah hari dengan perjalanan yang panjang. Mana boleh jatuh sakit. Bertahan. Rencana berjalan memutar ke sisi lain pulau berharap di sisi lain adalah Siberian of Dream adalah rencana yang paling bisa masuk dinalar ketimbang berlayar pulang dengan kapal yang tak lagi berwujud kapal. Ya, aku rasa ini adalah upaya. Entah bagaimana, kami pasti akan berusaha. Paling tidak beberapa dari kami masih mengusahakannya. 

Kapten Hook belum lagi nampak wujudnya kami sudah begini. Hem, apakah kami masih harus menjumpai Kapten Hook yang belum lagi muncul itu, atau ............

You Might Also Like

0 komentar

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images