Mimpi dan Biru

01.43

Malam ini, saat kantuk tak bisa lekas merangkulku, aku terus bergulat dengan pemikiranku sendiri. Bagaimana mimpi itu datang tiba-tiba dan bagaimana kalau itu pertanda. Bagaimana dengan mimpi atau asa asa lain yang lebih riil yang sedang kubangun kuat-kuat pondasinya belakangan ini.
***


Namanya Biru. Bola matanya cokelat kelam bukan hitam. Dia begitu tegar entah mengapa bisa. Andai aku Biru, mungkin aku sudah mengaduh aduh, memohon ampun, mengaku kalah telak. Tapi tak demikian dengan Biru. Mengalahkan karang lautan, Biru tak aus ditabrakan pada deburan keras ombak yang bergulung-gulung datang terus menerus.
Mungkin tak bisa dibilang hampa, tapi memang sedikitnya sepi. Begitulah Biru.
***
Kenalkan, dia Mimpi. Entah mengapa dia begitu tinggi dan terkadang susah diraih. Sekalinya tangannya dapat kugenggam, sebentar saja dia sudah berlari memintaku mengejarnya. Terus menerus dan berulang-ulang.
Dia satu-satunya di dunia yang sampai saat ini mampu mempermainkan peran nona, tuan, dan nyonya yang bermalam dalam ruang hatiku. Matanya bewarna hitam pekat bukan lagi cokelat tua. Tegas dan selalu memantulkan cahaya harapan jelas di pandangku.
***
Biru adalah penggiring Mimpi yang setia. Mimpi seringkali tak tau diri dan terus menguji Biru. Selalu saja Biru setia. Mengorbankan beberapa hal adalah kewajaran bagi Biru dalam tiap kali kesetiaannya mendampingi Mimpi diuji.
Kali ini tantangan lain dari biasanya. Nyonya Ambisi sedikit terusik di ruang tidurnya. Mungkin dalam lelapnya ia mulai merasa terancam pada sesuatu. Tapi entah apa, aku, Biru, Mimpi, dan seluruh penghuni rumah belum tahu dan setidaknya belum terburu-buru ingin tahu. Biru setidaknya sudah perlu siaga. Takut lagi-lagi Nyonya Ambisi bangkit dari lelapnya berkoalisi dengan Nona Gelisah akan mempengaruhi Mimpi yang akan mengujiku dan Biru untuk kesekian kali.
Mimpi, teruslah berdamai dengan Biru. Janganlah mudah berpaling dan setidaknya menetaplah dulu, bersandarlah dulu pada bahu Biru.
Mari kita terlelap sejenak. Aku sekali lagi belum mau mengusik Nyonya besar. Takut-takut pertempuran itu terjadi lagi. Belum lagi Tuan Besar kita, Tuan Idealisme, sedang keluar kota. Mari kita berdamai, eh Kamu dan Biru. Biarkan dulu begini. Nona gelisah juga jangan membuat onar dulu. Kali ini biarkan Biru dan Mimpi berdamai dulu untuk waktu yang cukup lama.
-Anggi Siregar-

You Might Also Like

0 komentar

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images