Menjadi Anak Perempuan: Pendidikan Tinggi Bisa(kah?)

00.22



“Jadi anak perempuan wis enak, Del. Rasah mikir ameh dadi apa. Rasah sekolah dhuwur dhuwur. Mengko yo urip melu suamine.” 

Sudah beberapa tahun berlalu, tapi kata-kata itu masih terngiang betul di telingaku. Bukan lagi sebagai suara yang sambil lalu. Kadang-kadang kata-kata itu bercokol di salah satu sudut pikirku dan mengambil ruang cukup besar sampai harus dipikirkan. 

Sejak dahulu, aku dikenal sebagai anak perempuan tangguh yang yaudah ‘pasti menang gitu aja’. Jujur, semenjak aku berusia 3 tahun, aku sudah disiapkan untuk bersaing. Memiliki jiwa seorang kompetitor di tiap-tiap kesempatan yang aku miliki. Maka tak heran, Nyonya Ambisi membangun singgasananya di salah satu ruang diriku. Entah di sebelah mana. 

Mendengar perkataan itu, jelas saat itu aku tidak menerimanya. Saat itu, aku masih duduk di bangku SMA. Aku karib dengan Nyonya Ambisi dan aku berdamai dengan segala hal dengan capaian yang sangat tinggi. Saat itu aku hanya memiliki satu alasan untuk menolaknya yakni, “mengapa aku harus membunuh mimpiku kalau aku mau dan bahkan mampu mengupayakan untuk meraihnya? apakah hanya karena aku anak perempuan?” 

Berkuliah dan memilih jurusan atau bahkan universitas terbaik versiku sesuai dengan apa yang kucintai, menjadi prioritas bagiku. Bukan berbicara mengenai uang atau kesempatan untuk menjadi orang ‘wah’ dari yang dapat dihasilkan di pekerjaan nantinya, aku hanya tidak ingin membuat mimpi ini layu sebelum berkembang. Aku ingin melakukan apa yang aku cintai dan menandainya sebagai pencapaian. Bukan hanya label semata atau sekedar kata-kata resmi yang mengisi ruang CV. 
Setelah lama aku tumbuh dan jua masih bersahabat dengan Nyonya Ambisi, aku mulai mencari fakta untuk menolak kalimat ini. Hanya saja, kali ini aku mencoba mencari alasan yang tepat. Karena jujur saja dari waktu ke waktu, aku semakin tidak banyak kesempatan untuk ‘berteman dekat’ dengan anak laki-laki. Beberapa teman laki-laki di kampusku bahkan berkata bahwa anak laki-laki minder untuk dekat denganku. Alasannya minder karena aku sudah terlalu lengkap. Ha?

Jujur saja, karena bukan satu dua orang yang bilang demikian, aku mulai mengontrol apa yang aku lakukan dan apa yang aku kuasai. Tadinya hampir serupa dengan menurunkan kualitas (kebisaan), tapi jelas ada penolakan di sudut kecil dalam hati ini. Dalam masa berdamai dengan standar buatan teman-temanku itu, aku sudah beberapa kali bertengkar dengan Nyonya Ambisi, bahkan sampai pernah aku memaksanya untuk ‘mati suri’. Menyakitkan terkadang. Mungkin itulah sebab ada masa di mana aku bisa menangis tanpa alasan, hanya sakit yang tersisa tanpa tau apa penyebabnya. 
Saat menjalani masa studi strata satu, aku jelas sudah menggambarkan jembatan menuju jenjang berikutnya. Ya, aku sudah berencana untuk mengambil S2 nantinya di sebuah universitas di luar Indonesia. Aku bersungguh-sungguh. Aku sudah menghubungi sana sini dan bahkan mempersiapkan diri sebaik mungkin. Sayang, saat aku sudah mendekati kelulusan, makin banyak perkataan orang tentang anak perempuan yang menurutku agak kolot.

“Anak perempuan nggak usah sekolah tinggi-tinggi, nggak usah sekolah jauh-jauh. Kasihan mama mu nanti udah kepingin cucu.”


“Lah, Nggi jangan S2. Gimana kamu mau dapat jodoh? Mana ada yang mau sama anak perempuan yang udah S2? Nanti yang ada pada minder orang-orang.”


“Del, sekolah S1 aja cukup. Lulus jadi PNS udah cari calon suami. Yang penting suamimu mapan. Hidupmu bahagia.”


Dan masih banyak lagi.

Saat itu mungkin hatiku belum teguh. Aku memutuskan untuk menidurkan Nyonya Ambisi dan membuatnya ‘mati suri’. Dan pencarian fakta-fakta untuk menangguhkan semua pernyataan itu pun dimulai.

Akhirnya, aku mendapati keyakinan atas hal ini. Anak perempuan seharusnya memang berpendidikan (tinggi). Memiliki mimpi yang tinggi itu menjadi perlu dan semangat itu seharusnya dijaga untuk dapat ditularkan pada generasi selanjutnya (anak-anaknya).

Ibu adalah madrasah pertama bagi anak-anaknya. Saya meyakini itu. Interaksi Ibu dan anak adalah hal terpenting. Pembangunan karakter, attitude, kecerdasan emosi, dan bahkan dasar-dasar ilmu pengetahuan pun Ibu yang akan memberikan itu kepada anak-anaknya. Ayah tentu saja berperan. Tapi Ibu sudah bisa menjalankan peran itu semenjak ‘gumpalan darah’ ini menempel di dinding rahimnya. Pengetahuan yang dimiliki akan membuat seorang Ibu mandiri dan bahkan tau betul bagaimana bertahan atas segala kondisi. Sosialisasi dan atau kebisaan untuk berbicara dengan orang lain dan bahkan mampu bersikap supel yang dimiliki oleh seorang Ibu akan membantu kehidupan sosial anak dan bahkan bisa membuat anaknya ‘dijaga’ oleh banyak orang di sekitar anak itu berkegiatan. Saat anak mendapatkan Pekerjaan Rumah yang beraneka ragam dari guru sekolahnya, Ibu adalah orang pertama yang akan dituju untuk membantu menyelesaikannya. Bukan ayahnya. Dalam pendidikan agama, Ibu juga menjadi orang yang berperan penting. Dalam perilaku anak dengan lawan jenis, tentu pengetahuan Ibu akan membantu sang Ibu menjelaskannya kepada anak. 

Lalu masih pentingkah berpendidikan (tinggi)? Tentu. Berpendidikan tentu cukup. Tapi bila mau dan mampu berpendidikan lebih tinggi, mengapa tidak (?)

Oleh sebab itu, jangan takut ya, Mas. Buat seseorang yang entah siapa yang akan menjadi imam bagiku dan anak-anak kelak, kamu perlu tahu bahwa aku sudah berdamai dengan ruang-ruang dalam diriku perihal ini. Jangan pernah takut berdiskusi denganku tentang masalah ini. Jangan pernah merasa terancam saat aku belajar atau saat fokus terhadap pelajaran baru untuk menambah ilmu. Percayalah, ini semua bukan untuk memposisikan diriku ‘lebih’ dari kamu. Ini hanya demi anak-anak yang menjadi wajib bagi kita untuk mendidik dan membekalinya agar baik akhlaknya. 

Aku pun ingin belajar agar nanti tak menjadi bebanmu. Aku takut kamu jengah bila saat penat lepas bekerja aku terus mengganggumu dengan pertanyaan yang tidak penting yang sepele yang takut-takut bisa membuatmu naik darah. Barangkali kamu ada dilema dalam pemikiranmu atas suatu hal, aku ingin layak dianggap sebagai partner diskusi yang baik sebab aku punya cukup wawasan atas hal-hal yang kamu bicarakan. Yang mungkin saja hal-hal itu tidak aku temui saat aku berada di rumah saja. 

Buat semua teman-teman perempuan yang sudah menikah, saat kalian membaca tulisan ini dan terbesit kembali niatan untuk bersekolah, jangan lupa mintalah izin dan restu dari suami kalian. Sebab tanggung jawab atas diri kalian ada di suami kalian saat ini. Bukan lagi di orang tua. Jadi, kalau suami ridho, insyaAllah semua juga dilancarkan.

Berdiskusilah dan jangan memaksakan. Kalau kalian ‘menang’, menanglah seperti kata pepatah Jawa ini “Menang tanpa ngasorake.


- Anggi Siregar -

You Might Also Like

2 komentar

  1. Hanya lelaki penakut yang minder sama wanita yang lebih hebat. karena menurutku wanita hebat akan dapat lelaki yang hebat kok Nggi. Jangan takut untuk jadi Anggi, jodoh udah ada yang ngatur, deketin aja yang Maha Mengatur. Chayo Anggi, inget jodoh itu sesuai sama diri kita, kalau kamu hebat, pasti jodoh kamu hebat. Semangat! :*

    BalasHapus
  2. Aamiin. Cie petuah dari 'bride to be'. Alhamdulillah ada yang baca. Ha ha. Siap, Meg. Bismillah semoga dipertemukan dengan yang terbaik.

    BalasHapus

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images