Rasa Nyaman

20.34

"Nggi, kalau cewek ngerasa nyaman itu... ujung-ujungnya berharap. Kalau cowok ngerasa nyaman itu... ujung-ujungnya cuma jadi sahabat."

Selamat malam. Bulan Mei sudah mau habis saja dilahap waktu. Tapi otakku masih saja dijejali ragam judul entah curhatan, entah opini, atau sekedar cerita yang perlu kamu tau. Tapi yah, aku akan mencoba bijak. Semoga inginku bisa terjadi. Ha ha. 

Tak berbeda dengan postingan sebelumnya. Dibanding dibilang galau atau curhat, mungkin lebih cocok postingan ini dibilang berbagi cerita. Adalah sebuah kondisi yang melibatkan aku pada simpang pemikiran tentang sebuah rasa nyaman. 

Bagiku, seorang yang nantinya akan berjuang bersamaku dalam menghidupi 'mimpi-mimpi', dia dapat didefinisikan sebagai seseorang yang nyaman bersama denganku. Orang yang membuat aku nyaman bersamanya atau bahkan orang yang nyaman menjadi dirinya saat bersamaku. Nah, opini ku ini tiba-tiba saja dibantah oleh salah seorang senior perempuanku beberapa waktu yang lalu. Beliau berkata seperti demikian di atas. Seniorku tadi bahkan lebih jauh lagi memberikan fakta-fakta atau cerita riil bahwa kebanyakan perempuan sakit hati karena 'si nyaman' ini. Ha ha. 

Oiya kalian perlu tau, bahwa kebetulan seniorku yang berkata demikian ini adalah seniorku yang memiliki banyak sahabat laki-laki. Dia sangat mudah berkawan dan sangat gampang dijadikan tempat mencurahkan perasaan oleh teman dan sahabatnya. 

Lalu bagaimana denganku? Sesungguhnya saat beliau berkata demikian, aku jadi berpikir keras.
"Terus anak cowok pasangannya gimana?"
"Yang nyaman dijadiin sahabat, yang dinikahin adalah yang kayak apa sama si cowok?"
"Kok aneh ya?"
"Masak menikahi seseorang yang ga terlalu nyaman?" 

Otakku tuh mendadak jadi ramai dengan ragam pertanyaan. Aku tak mengiyakan, namun jua tak menampiknya. Aku lebih pada posisi ingin memahami hipotesa ini. Menguji premis.

Kalau disampaikan bahwa anak laki-laki cenderung lebih takut kehilangan orang yang mengenal betul dirinya, mungkin aku akan bisa memahaminya. Karena anak laki-laki cenderung tidak biasa akrab dengan mudah pada kelompok atau bahkan individu asing. Atau bahkan berpura-pura untuk diterima pada suatu lingkungan strangers (kecuali terpaksa). Berbeda dengan anak perempuan yang cenderung lebih terlihat biasa berusaha untuk dapat diterima oleh suatu kelompok/grup. Sehingga untuk menemukan seseorang yang 'klik' bagi anak laki-laki adalah pencapaian yang luar biasa. Sehingga wajar kalau ia ingin selalu menjaga orang yang dirasa nyaman dengannya. 

Namun, apakah benar tak menjadikan perempuan yang 'nyaman' ini sebagai 'the only one' adalah keputusan yang tepat?

Hem... kalau bagiku, itu kurang tepat. Maaf ya, tapi ini opiniku. 

Alih-alih takut dengan masalah yang mungkin terjadi di waku mendatang, aku lebih appreciate seseorang yang berani ambil risiko. Bagiku, segala kemungkinan itu akan selamanya jadi kemungkinan yang tak akan pernah kita ketahui benar salahnya kalau tak ada yang berani mengambil langkah

Masa depan memang tak pasti, tapi masa gitu?

Kalau dihubungkan dengan sebelum-sebelumnya, tak salah memang bagi anak laki-laki memiliki kekhawatiran itu. Takut 'si nyaman' ini hilang atau bahkan berubah tak lagi senyaman dulu.
Namun, kalau kemudian yang terjadi adalah memilih menjadikan 'si nyaman' sebagai sahabat dan memaku nya dalam harapan yang harus selalu ada baginya sementara ia memilih hidup bersama 'si tak seberapa nyaman', lalu kalau ada apa-apa larinya masih ke 'si nyaman', apakah ini tidak egois?
Akan ada berapa hati yang akan terluka? Betulkan ya? 

Nah itu dia, aku sepertinya masih harus mengumpulkan fakta apa sebenarnya yang bisa membenarkan statement itu dan fakta apa yang bisa mematahkan statement itu kuat-kuat.
Tapi ya, mungkin apa yang dikatakan senior aku itu bisa dipupuk jadi tameng. Buat berjaga diri saja. Jangan terlalu menanam asa terlalu dalam, atau mengepak sayap terlalu tinggi. Jalani saja dengan normal.

Toh, bersahabat atau bahkan lebih dari itu, rasa nyaman itu membuat kita sebagai individu merasa aman di lingkungan tersebut. Rasa nyaman itu sama halnya dengan rasa-rasa yang lain. Ia fitrah, tapi dapat dibentuk dan diupayakan. Tinggal seberapa usahanya dan seberapa kadar hasil upayanya.
Begitu.

Selamat malam.

- Anggi Siregar -

You Might Also Like

0 komentar

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images