Jelas Bagiku tapi Tidak Bagi...

00.25

"Ga jelas ya? Namanya juga perasaan."
***
Akhirnya sempat menulis jua. Alhamdulilah.
Pernahkah kalian terpikir bahwa blog ini bagai lembar bening kalian untuk melihat aku? Bukan jenggala kata yang memperumit diri kalian untuk mengenal aku. Tapi bila kalian menjumpai kesulitan itu, tolong langsung katakan padaku. Aku tak ingin berpura-pura, karena aku tak lagi ingin menjadi aktris opera ini. Sebagian dari diriku meminta aku untuk berhenti dan sebagian lainnya siap untuk melarikan diri. Jadi mohon jujurlah bila aku terlihat samar bagi kalian.
Huff.

Bulan hujan sedang dijalani. Bulan-bulan dari segala musim sudah diakrabi sejak awal tahun ini. Lembaran buku dongeng yang kutulis sudah aku coba ganti. Arah dari tiap cerita dalam beberapa bab itu tak lagi coba jelaskan tentang kisah hari-hari yang dilalui bersama. Meski dalam beberapa bab, masih aku suguhkan gambaran atas lautan rasa dan prasangka yang sudah susah payah diselami guna mencapai dasar dari lautan yang entah apa namanya ini. 



Penggantian plot ini bukan karena tanpa sebab. Kedua tokoh utama dalam dongengku menghantuiku dalam mimpi. Pembaca cerpenku pun mengirimi gugatan pada kolom surat pembaca surat kabar beberapa bulan lalu atau bahkan dapat dijumpai pada belasan surat kritik dan saran yang dikirim langsung ke alamat rumahku. 

Oiya aku lupa menjelaskan. Lepas Agustus lalu, aku akhirnya memberanikan diri untuk menerbitkan cerpen tentang romansa kedua tokoh utama. Yang pria bernama Air dan yang wanita bernama Udara. Ini diawali kisah Air saat mengutarakan perasaannya pertama kali pada Udara kala itu di depan teman-temannya. Saat Udara tak pernah menyangkanya dan disambung dengan kisah denial atas upaya pemersatuan kedua tokoh utama ini. Kisah ini mengambang. Cerpen ditutup dengan rasa penasaran Udara yang selalu penuh perhitungan dan perencanaan pun kisah usaha mati-matian Air untuk mencapai sesuatu. 

Usai cerpen itu diluncurkan, di luar dugaan, 70% dari pembaca menolak Air dan Udara bersatu. Mereka memintaku untuk menulis kisah lain. Pembaca menyarankan alur lain pada cerita ini.
Beberapa pembaca menyebut aku selalu menempatkan Udara sebagai korban atas tiap kejadian. Menjadikan dia sebagai tokoh yang tak pernah berani bermimpi bahwa ada kesempatan di suatu hari nanti ia bisa bersama Air. Memberi Udara kepercayaan bahwa bila Udara tak bersama Air maka itu adalah salahnya dan ia yang tak pantas bersama Air. Tidak pernah menempatkan sesuatu yang berbau ego pada karakternya. 

Tapi bila aku boleh jujur, aku ingin berkata sesuatu pada pembacaku. Semenjak awal, aku menyebutnya kisah romansa. Aku bertekad membuat Air dan Udara bersama meski jujur aku belum mengetahui bagaimana menuliskan perasaan dan upaya Air untuk itu. 

Dalam karakter Udara itu, aku sudah selipkan rasa yang kuat dan kepekaan pada tingkat yang dramatis sehingga mudah sebenarnya bagi Udara untuk memandang jelas perasaannya. Apa dan untuk siapa. Tapi sifat lemahnya memang kuakui perlu aku revisi sedikit. 

Tapi bukankah hal itu harusnya cukup? Tadinya aku berharap reaksi pembaca akan mendukungku mempertemukan perasaan ini. Ternyata kebanyakan tidak demikian.

Kalau kalian bertanya bagaimana dengan pembaca yang mendukung kisah atas rasa ini, mereka yang memihak tentu karena penuh apresiasi atas apa yang telah diusahakan Air. Meski dalam dongeng tak pernah diceritakan bahwa Air melakukan itu untuk Udara, bahkan sesungguhnya Udara pun tak tahu bagaimana cara menanggapi usaha itu, tapi pembaca meyakini demikian. Air telah berbuat sesuatu. Ia berusaha semampu mungkin yang secara tersirat itu dilakukannya untuk Udara. 

Aku masih belum jelas bagaimana aku harus melanjutkan dongeng ini. Yang aku tahu, Udara yang mampir ke mimpiku semalam menyampaikan perasaannya. Ia memperjelas apa yang sudah jelas baginya. Perasaannya sendiri. Tapi mungkin tidak demikian dengan Air. Entahlah, begitu pikir Udara.
Kertas masih kosong. Pena masih aku tutup rapat. Aku pun belum menghubungi penyunting cerita. Ahh jangan lagi dia. Aku masih belum ada ide bagaimana cerita dua tokoh ini pada akhirnya pun bagaimana penyunting akan perlakukan kisah itu sampai berakhir pada satu titik akhir di akhir paragraf terakhir.

***

Bagi aku dan sebagian orang lainnya, mampu melihat perasaan diri sendiri adalah buah dari upaya. Tapi mungkin sebagian orang lainnya tak berpikiran demikian. Perasaan memang abstrak, tapi tak pernah kalian tau bagaimana bila coba dilihat dari perspektif yang berbeda. 


- Anggi Siregar-

You Might Also Like

0 komentar

@anggsiregar

My Other Planet

www.delianisiregar.blogspot.com

Flickr Images